Connect with us

Nasional

PWI Pusat Resmi Dilantik, Tanda Pers Indonesia Kembali Satu Haluan

Published

on

SURAKARTA, onlinekoranbarito.com – Napas baru dunia pers Indonesia resmi dimulai. Sabtu (4/10/2025), di tempat bersejarah Monumen Pers Nasional, Solo, Jawa Tengah, pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat periode 2025–2030 dikukuhkan dalam suasana penuh haru dan semangat persatuan.

Momentum bersejarah itu turut dihadiri Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, Wamenkomdigi Nezar Patria, Wakil Wali Kota Solo Astrid Widayani, serta ratusan insan pers dan tamu undangan dari berbagai daerah.

Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir menegaskan, pemilihan Monumen Pers bukan tanpa alasan. Tempat yang menjadi saksi lahirnya PWI pada 9 Februari 1946 itu dianggap sebagai simbol persatuan dan perjuangan wartawan Indonesia.

“Monumen Pers memiliki spirit persatuan dan perjuangan dari para pendahulu kita. Setelah dua tahun kita mengalami stagnasi dan dualisme, kini saatnya kembali bersatu,” tegas Munir.

Ia mengakui, hampir dua tahun belakangan organisasi wartawan tertua di Indonesia itu sempat mengalami kebuntuan akibat perpecahan kepengurusan. Namun, pengukuhan kali ini disebutnya sebagai babak baru untuk mengembalikan marwah PWI sebagai rumah besar wartawan Indonesia.

Dalam pidatonya, Munir mengibaratkan informasi yang dihasilkan wartawan sebagai makanan bagi publik.

“Masyarakat kini dibanjiri informasi. Pertanyaannya, apakah yang kita sajikan itu makanan bergizi atau justru racun?” ujarnya menyentil.

Munir mengajak seluruh anggota PWI agar menjaga profesionalitas dan berpegang teguh pada kode etik jurnalistik demi menghadirkan informasi yang sehat dan mencerdaskan.

Ditempat yang sama, Ketua PWI Surakarta Anas Syahirul yang menjadi tuan rumah, berharap momentum pengukuhan ini menjadi titik akhir perpecahan di tubuh PWI.

“Tidak ada lagi kelompok Pak HBC, tidak ada lagi kelompok Pak Zul. Sekarang hanya ada satu, yaitu kelompok Pak Munir,” tandasnya disambut tepuk tangan hadirin.

Prosesi pengukuhan dimulai dengan pembacaan Surat Keputusan oleh Sekjen PWI Pusat Zulmansyah Sekedang, dilanjutkan penyerahan SK dan ucapan selamat dari Menkomdigi dan Wamenkomdigi.

Dalam sambutannya, Menkomdigi Meutya Hafid menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pers. Ia menilai PWI punya peran vital dalam menjaga ekosistem informasi yang sehat dan berimbang di era digital.

Pengukuhan pengurus PWI Pusat periode 2025–2030 di Monumen Pers Solo menjadi simbol kuat bahwa pers Indonesia siap melangkah ke depan dengan semangat baru: persatuan, profesionalitas, dan tanggung jawab moral kepada publik. (isn/kb).

Nasional

Ichsanuddin Noorsy Sesalkan Pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara

Published

on

JAKARTA, onlinekoranbarito.com – Pakar ekonomi politik dan analis kebijakan publik Dr. Ichsanuddin Noorsy menyesalkan pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang melontarkan pandangan berseberangan dengan kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto terkait lokasi pembangunan Bandara Internasional Bali Utara (BIBU).

“Ini bentuk pelecehan terhadap kebijakan presiden dan juga terhadap iklim dan kepastian hukum investasi serta bisa menimbulkan kebingungan publik,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Senin (6/10/2025).

Dalam sistem pemerintahan yang sehat, lanjutnya, hierarki kebijakan harus dijaga. Peraturan Presiden (Perpres) sebagai turunan langsung dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah kompas utama arah pembangunan. Setiap pejabat negara, baik di pusat maupun daerah wajib tunduk pada keputusan yang telah ditegaskan Presiden.

Namun belakangan publik dibuat bingung oleh sikap dan pernyataan dua pejabat, yakni Gubernur Bali pada 30 Juni 2025 dan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub pada 27 September 2025 yang justru melontarkan pandangan berseberangan dengan kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto terkait lokasi pembangunan BIBU.

Keduanya membuka wacana pemindahan lokasi proyek dari Kubutambahan, Buleleng ke Sumberklampok, wilayah yang berada di tengah Taman Nasional Bali Barat. Langkah ini bukan hanya menimbulkan kebingungan publik, tapi juga menebar ketidakpastian di dunia investasi.

Padahal, fakta hukum sudah gamblang. Lokasi BIBU di Kubutambahan telah dikukuhkan dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025, dan Perpres itu bersifat final dan mengikat.

Tidak ada lagi ruang tawar-menawar atau wacana pemindahan lokasi, sementara pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara sama saja dengan bentuk perlawanan terbuka terhadap keputusan presiden.

“Ini bukan sekadar beda pandangan, tapi sudah menyentuh ranah insubordinasi birokrasi yang bisa menghancurkan iklim investasi dan kepercayaan investor,” tegas Ichsanuddin.

Sebelumnya, menurut dia, Dirjen Perhubungan Udara justru pernah menolak lokasi Sumberklampok melalui surat resmi kepada Gubernur Bali tertanggal 23 Desember 2020.

Alasannya jelas, kawasan tersebut tidak sesuai dengan Perda Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029, mengancam Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan sebagian lahannya akan memakai zona konservasi seluas sekitar 64 hektar.

Kini, justru lokasi yang dulu dinilai tidak layak itu dihidupkan kembali, padahal berpotensi menabrak Undang-Undang Konservasi, memicu konflik lingkungan, dan menimbulkan tumpang tindih ruang udara dengan Bandara Blimbingsari di Banyuwangi yang jaraknya hanya dipisahkan Selat Bali.

Visi Presiden: Bali Utara, Poros Pertumbuhan Baru

Pada bagian lain, Ichsanuddin mengingatkan, proyek BIBU Kubutambahan adalah wujud nyata visi besar Presiden Prabowo, menjadikan Bali sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia.

Dalam berbagai kesempatan, termasuk di Sanur pada November 2024, Presiden Prabowo menegaskan ambisinya menjadikan Bali sebagai “The New Singapore” atau “The New Hong Kong.”

Langkah strategis itu disambut PT BIBU Panji Sakti, selaku pemrakarsa proyek, yang sudah mengamankan komitmen investasi senilai Rp50 triliun dan meluncurkan desain bandara modern di atas laut (offshore).

Proyek ini telah dikaji lintas kementerian serta telah mendapat lampu hijau dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Investasi (BKPM), dan Bappenas sebelum akhirnya dimasukkan ke RPJMN 2025–2029.

Ichsanuddin lebih lanjut mengemukakan, sikap pejabat daerah dan pusat yang tidak sejalan dengan Perpres membuat sejumlah tokoh adat di Bali geram. Paiketan Puri-Puri Se-Jebag Bali (P3SB) mendesak Presiden Prabowo segera memulai pembangunan BIBU.

“Kami sudah jenuh dengan wacana. Perpres Nomor 12 Tahun 2025 sudah jelas: lokasi bandara di pesisir Kubutambahan,” tegas Anak Agung Ngurah Ugrasena, Sekretaris P3SB sekaligus Penglingsir Puri Agung Singaraja sebagaimana dikutip Ichsanuddin.

Nada serupa datang dari Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN). Melalui surat resmi bertanggal 29 September 2025, mereka meminta Presiden segera meresmikan peletakan batu pertama pembangunan BIBU.

Ketua Umum FSKN Brigjen Pol (Purn) Dr. A.A. Mapparessa, M.M., M.Si., Karaeng Turikale VIII menyebut proyek ini strategis untuk memacu pemerataan ekonomi dan memperkuat identitas budaya Bali dalam bingkai kejayaan peradaban bangsa.

Menurut Ichsanuddin, perilaku pejabat yang menentang keputusan Presiden bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga penghancuran sistem pemerintahan, dan ia meminta Presiden Prabowo supaya mengambil langkah tegas untuk menertibkan seluruh elemen birokrasi agar tegak lurus pada Perpres 12/2025.

“Tidak boleh ada ego sektoral yang menabrak keputusan kepala negara. Kalau dibiarkan, ini bukan hanya melecehkan Presiden, tapi juga mempermalukan Republik di mata dunia investasi,” tegasnya.

Continue Reading

Nasional

Praktek Pamer Hasil Korupsi Oleh APH, Untuk Apa?

Published

on

Oleh Muhammad Akhyar Adnan*

Belakangan ini masyarakat sering dihadapkan pada gambar-gambar aparat penegak hukum yang memamerkan tumpukan uang kertas dalam jumlah fantastis, mulai dari miliaran hingga hampir mencapai triliunan rupiah.

Fenomena ini menarik untuk dicermati secara kritis, karena tidak hanya melibatkan aspek estetika visual, tetapi sejatinya juga menyimpan pesan sosial dan implikasi hukum yang cukup serius.

Tujuan utama aparat penegak hukum memamerkan uang tersebut biasanya adalah sebagai bukti keberhasilan mereka dalam memberantas tindak pidana korupsi, penggelapan, narkoba, atau kejahatan keuangan lainnya.

Dalam konteks ini, eksposur uang dalam jumlah besar dimaksudkan untuk menunjukkan efektivitas kerja aparat, sekaligus memberi sinyal bahwa hukum tidak pandang bulu dalam menangani kasus kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat.

Namun, praktik memamerkan uang dalam jumlah sangat besar sebenarnya berada di luar nalar. Secara praktis, tidak mungkin para koruptor atau pelaku kejahatan menyimpan dana secara tunai dalam jumlah sebesar itu.

Sudah menjadi kebiasaan di berbagai organisasi dan institusi menggunakan sistem “petty cash”, yaitu jumlah uang tunai terbatas yang disediakan untuk pengeluaran kecil sehari-hari, bukan menyimpan miliaran rupiah dalam bentuk tunai.

Dana hasil kejahatan finansial umumnya disimpan dalam bentuk aset tidak likuid, investasi, atau diputar melalui rekening bank agar lebih sulit dilacak. Oleh karena itu, uang tunai yang dipamerkan biasanya sudah dikumpulkan dari berbagai sumber dan kasus, bukan mencerminkan satu transaksi atau satu pelaku semata.

Misalnya, dalam beberapa kasus besar korupsi di Indonesia, seperti kasus korupsi di proyek e-KTP atau korupsi dana bansos, aparat berhasil menyita uang tunai sejumlah besar yang berasal dari gabungan pendapatan hasil operasi penegakan hukum selama beberapa waktu.

Meski jumlahnya sangat besar, uang tersebut bukan disimpan secara mencolok oleh para pelaku, melainkan hasil penelusuran dan penyitaan dari berbagai lokasi atau rekening. Hal ini menguatkan klaim bahwa pemaparan uang dalam jumlah fantastis lebih bersifat simbolik daripada cerminan aktual dari cara koruptor bekerja.

Dari sisi dampak sosial, praktik pamer uang kertas ini seolah menjadi tontonan media yang menghibur publik dan memberikan “kepuasan instan” bahwa hukum sedang bekerja.

Namun, pendekatan ini berisiko menimbulkan budaya sensasionalisme yang mengabaikan hak-hak tersangka, proses peradilan yang adil serta transparansi yang sebenarnya.

Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, eksibisi tersebut bisa menimbulkan skeptisisme terhadap integritas aparat hukum dan sistem peradilan jika dianggap sebagai pencitraan semata.

Dari perspektif hukum, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana mekanisme penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan barang bukti berupa uang tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau kebocoran.

Kelemahan tata kelola barang bukti dapat melemahkan bukti dalam persidangan dan memberi celah bagi oknum mafia hukum. Oleh karena itu aparat wajib menunjukkan akuntabilitas yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan aset hasil perkara.

Fenomena ini juga mencerminkan dilema institusional di mana aparat penegak hukum terjebak dalam kultur “politik pencitraan” yang lebih mengutamakan narasi keberhasilan dibandingkan proses hukum yang substantif.

Dalam negara hukum yang ideal, penegakan hukum haruslah berorientasi pada keadilan yang seimbang, menghormati hak asasi, dan mengedepankan transparansi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi impresi media.

Dengan demikian, fenomena aparat penegak hukum yang suka memamerkan uang kertas dalam jumlah sangat besar sebaiknya ditinjau ulang, tidak hanya dari sisi estetika atau kepuasan publik sesaat, tetapi juga dari implikasi sosial dan hukum yang lebih mendalam.

Perlu ada upaya reformasi komunikasi publik aparat agar fokus pada edukasi hukum, transparansi proses, dan akuntabilitas, bukan hanya mempertontonkan angka fantastis yang berpotensi menyesatkan.

*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.

Continue Reading

Nasional

Praktek Pamer Hasil Korupsi Oleh APH, Untuk Apa?

Published

on

Oleh Muhammad Akhyar Adnan*

Belakangan ini masyarakat sering dihadapkan pada gambar-gambar aparat penegak hukum yang memamerkan tumpukan uang kertas dalam jumlah fantastis, mulai dari miliaran hingga hampir mencapai triliunan rupiah.

Fenomena ini menarik untuk dicermati secara kritis, karena tidak hanya melibatkan aspek estetika visual, tetapi sejatinya juga menyimpan pesan sosial dan implikasi hukum yang cukup serius.

Tujuan utama aparat penegak hukum memamerkan uang tersebut biasanya adalah sebagai bukti keberhasilan mereka dalam memberantas tindak pidana korupsi, penggelapan, narkoba, atau kejahatan keuangan lainnya.

Dalam konteks ini, eksposur uang dalam jumlah besar dimaksudkan untuk menunjukkan efektivitas kerja aparat, sekaligus memberi sinyal bahwa hukum tidak pandang bulu dalam menangani kasus kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat.

Namun, praktik memamerkan uang dalam jumlah sangat besar sebenarnya berada di luar nalar. Secara praktis, tidak mungkin para koruptor atau pelaku kejahatan menyimpan dana secara tunai dalam jumlah sebesar itu.

Sudah menjadi kebiasaan di berbagai organisasi dan institusi menggunakan sistem “petty cash”, yaitu jumlah uang tunai terbatas yang disediakan untuk pengeluaran kecil sehari-hari, bukan menyimpan miliaran rupiah dalam bentuk tunai.

Dana hasil kejahatan finansial umumnya disimpan dalam bentuk aset tidak likuid, investasi, atau diputar melalui rekening bank agar lebih sulit dilacak. Oleh karena itu, uang tunai yang dipamerkan biasanya sudah dikumpulkan dari berbagai sumber dan kasus, bukan mencerminkan satu transaksi atau satu pelaku semata.

Misalnya, dalam beberapa kasus besar korupsi di Indonesia, seperti kasus korupsi di proyek e-KTP atau korupsi dana bansos, aparat berhasil menyita uang tunai sejumlah besar yang berasal dari gabungan pendapatan hasil operasi penegakan hukum selama beberapa waktu.

Meski jumlahnya sangat besar, uang tersebut bukan disimpan secara mencolok oleh para pelaku, melainkan hasil penelusuran dan penyitaan dari berbagai lokasi atau rekening. Hal ini menguatkan klaim bahwa pemaparan uang dalam jumlah fantastis lebih bersifat simbolik daripada cerminan aktual dari cara koruptor bekerja.

Dari sisi dampak sosial, praktik pamer uang kertas ini seolah menjadi tontonan media yang menghibur publik dan memberikan “kepuasan instan” bahwa hukum sedang bekerja.

Namun, pendekatan ini berisiko menimbulkan budaya sensasionalisme yang mengabaikan hak-hak tersangka, proses peradilan yang adil serta transparansi yang sebenarnya.

Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, eksibisi tersebut bisa menimbulkan skeptisisme terhadap integritas aparat hukum dan sistem peradilan jika dianggap sebagai pencitraan semata.

Dari perspektif hukum, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana mekanisme penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan barang bukti berupa uang tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau kebocoran.

Kelemahan tata kelola barang bukti dapat melemahkan bukti dalam persidangan dan memberi celah bagi oknum mafia hukum. Oleh karena itu aparat wajib menunjukkan akuntabilitas yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan aset hasil perkara.

Fenomena ini juga mencerminkan dilema institusional di mana aparat penegak hukum terjebak dalam kultur “politik pencitraan” yang lebih mengutamakan narasi keberhasilan dibandingkan proses hukum yang substantif.

Dalam negara hukum yang ideal, penegakan hukum haruslah berorientasi pada keadilan yang seimbang, menghormati hak asasi, dan mengedepankan transparansi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi impresi media.

Dengan demikian, fenomena aparat penegak hukum yang suka memamerkan uang kertas dalam jumlah sangat besar sebaiknya ditinjau ulang, tidak hanya dari sisi estetika atau kepuasan publik sesaat, tetapi juga dari implikasi sosial dan hukum yang lebih mendalam.

Perlu ada upaya reformasi komunikasi publik aparat agar fokus pada edukasi hukum, transparansi proses, dan akuntabilitas, bukan hanya mempertontonkan angka fantastis yang berpotensi menyesatkan.

*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.

Continue Reading

Nasional

Diplomasi Bela Palestina Presiden Prabowo Subianto

Published

on

Oleh: Dr. Yanuardi Syukur
Direktur Kawasan Asia-Afrika Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Pidato Presiden Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 (23/9/2025) menjadi salah satu pernyataan diplomasi strategis Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dari podium PBB, Prabowo bukan hanya menyuarakan kepedulian terhadap tragedi Gaza, tetapi juga menawarkan paket komitmen yang jarang dilakukan negara berkembang, yakni mengirim hingga 20.000 pasukan penjaga perdamaian, membantu pangan melalui ekspor beras, serta menegaskan solusi dua negara Palestina–Israel sebagai jalan tunggal menuju perdamaian.

Pidato ini menarik karena memadukan dua hal, yaitu pengalaman historis Indonesia sebagai bangsa terjajah dan peran Indonesia saat ini sebagai negara yang mampu menawarkan solusi global. Prabowo menyinggung kolonialisme, kemiskinan, dan solidaritas internasional, lalu menghubungkannya dengan penderitaan Palestina. Dengan demikian, ia menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai negara yang berempati, tetapi juga sebagai aktor yang siap mengambil bagian dalam “misi penyelamatan” kemanusiaan global.

Komitmen mengirim 20.000 pasukan perdamaian tersebut tentu membutuhkan konsensus Dewan Keamanan PBB, sumber daya finansial besar, dan kesiapan logistik. Belum tentu negara-negara besar akan menerima peran dominan Indonesia di medan yang penuh kepentingan geopolitik tersebut. Demikian pula janji ekspor pangan untuk Palestina yang selain patut diapresiasi, realisasinya tetap tergantung stabilitas dalam negeri dan kemampuan distribusi lintas zona perang—mengingat blokade Israel pada jalur masuk ke Gaza.

Di tengah pidato inspiratif dan kuat dari Presiden Prabowo tersebut, kita patut melihat realitas di lapangan yang jauh lebih kompleks. Saat ini, kita lihat, Israel tetap memegang kendali militer yang kuat, sementara Palestina masih berada dalam “penjara blokade”, “politik pelaparan”, dan terpecah secara politik. Di sisi lain, dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, serta belum bersatunya negara-negara Arab untuk mengambil langkah konkrit dalam menghentikan genosida di Gaza sebagai suatu kebutuhan strategis dan mendesak, membuat solusi dua negara kerap berhenti di tingkat retorika. Dalam konteks ini, Presiden Prabowo mencoba membalik narasi, yakni perdamaian hanya mungkin bila ada keberanian mengambil langkah konkret, termasuk mengakui kedua negara dan menjamin keamanan keduanya.

Per 23/9/2025, Israel masih terus menyerang ke seluruh Gaza dan membunuh sedikitnya 36 warga Palestina di tengah-tengah pertemuan para pemimpin dunia menghadiri pertemuan tahunan Majelis Umum PBB, di mana perang Israel di Gaza menjadi pusat perhatian. Israel juga kembali mengeluarkan ancaman terhadap Gaza Sumud Flotilla, dengan mengatakan akan “mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah masuknya ke zona tempur dan menghentikan setiap pelanggaran terhadap blokade laut yang sah.”

Selain itu, merujuk Aljazeera (23/9/2025), Israel juga menutup Jembatan Raja Hussein (atau yang dikenal sebagai Jembatan Allenby) tanpa batas waktu, memblokir satu-satunya jalur penghubung antara Tepi Barat yang diduduki dan Yordania. Israel tampaknya tidak menunjukkan i’tikad serius untuk menghentikan teror dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi.

Terlepas dari fakta lapangan dimana terorisme Israel masih terjadi, satu hal penting dari pidato Prabowo tersebut adalah menyadarkan dunia dengan menggunakan narasi universal “keluarga manusia”. Ia menyebut semua agama dan bangsa sebagai bagian dari satu keluarga besar. Kata Prabowo, “We differ in race, religion, and nationality, yet we gather together today as one human family,” dan karena kita ‘satu keluarga manusia’, maka kita harus menolak doktrin sejarawan Athena abad ke-4 Sebelum Masehi, Thucydides bahwa “the strong do what they can, the weak suffer what they must.”

Narasi “keluarga manusia” penting, karena mengajak dunia keluar dari logika realpolitik yang didominasi kekuatan militer semata, menuju pada solidaritas moral sebagai basis diplomasi. Dalam Islam, relasi tersebut dikenal sebagai relasi “ukhuwah insaniyah”, atau dalam perspektif dokumen Imam Ahmed Al-Tayyeb dan Paus Fransiskus sebagai “persaudaraan kemanusiaan” (human fraternity)—yang saat ini telah dirayakan setiap tahunnya secara internasional.

Presiden Prabowo membuka mata dunia bahwa saat ini secara realistis kita hidup dalam situasi kebencian dan kekerasan. Beliau menyampaikan sebagai berikut:

“We live in a time when hatred and violence can seem to be the loudest voices. But beneath this loud noise lies a quieter truth: That every person longs to be safe, to be respected, to be loved, and to leave a better world to their children. Our children are watching. They are learning leadership not from textbooks, but from our choices.”

(Kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan terdengar paling lantang. Namun di balik kebisingan itu ada kebenaran yang lebih tenang: setiap orang mendambakan rasa aman, penghormatan, kasih sayang, dan warisan dunia yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Anak-anak kita sedang menyaksikan. Mereka belajar kepemimpinan bukan dari buku teks, melainkan dari pilihan kita).

Beliau kemudian membahas ‘situasi bencana’ (catastrophic situation)—untuk menggambarkan kehancuran luar biasa—di Gaza yang tak kunung selesai. Secara diplomatik, kalimat ‘catastrophic situation’ lebih soft sebagai tokoh yang hendak ‘berdiri di atas dan untuk semua golongan’. Prabowo mengatakan sebagai berikut:

“Today, still, a catastrophic situation in Gaza is unfolding before our eyes. At this very moment, the innocent are crying for help [and] are crying to be saved. Who will save them? Who will save the innocent. Who will save the old and women? Millions are facing danger at this very moment, as we sit here. They are facing trauma. They are facing irreparable damage to their bodies. They are dying of starvation. Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?”

(Hari ini, situasi bencana di Gaza masih berlangsung di depan mata. Saat ini juga, orang-orang tak berdosa menangis minta tolong. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang tua dan perempuan? Jutaan jiwa sedang menghadapi bahaya, trauma, kerusakan tubuh yang tak bisa dipulihkan, kelaparan, bahkan kematian. Dapatkah kita tetap diam? Akankah tidak ada jawaban untuk jeritan mereka? Akankah kita mengajarkan bahwa keluarga manusia tidak sanggup menjawab tantangan ini?)

Kepedulian Prabowo pada Palestina juga disampaikan pada penutup pidatonya sebagai yang ia nyatakan:

“Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali dukungan penuh Indonesia terhadap solusi dua negara untuk Palestina. Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, namun kita juga harus mengakui, menghormati, dan menjamin keselamatan serta keamanan Israel. Hanya dengan itu, kita bisa memiliki perdamaian sejati—perdamaian yang bebas dari kebencian dan kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara.”

Beliau juga menggugah kita semua sebagai ‘satu keluarga manusia’ untuk berkomitmen dalam rekonsiliasi damai dan harmoni:

“Two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace and harmony. Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions, we must live as one human family. Indonesia is committed to being part of making this vision a reality. Is this a dream? Maybe, but this is the beautiful dream that we must work together towards.”

(Dua keturunan Ibrahim harus hidup dalam rekonsiliasi, damai, dan harmoni. Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha—semua agama—harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen menjadi bagian dari upaya mewujudkan visi ini. Apakah ini mimpi? Mungkin, tetapi ini adalah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama).

Dalam pidato tersebut, Indonesia menegaskan diri sebagai negara yang berani menawarkan jalan keluar, bukan hanya mengutuk. Paling tidak, Presiden Prabowo telah menempatkan Indonesia pada posisi moral yang jelas, yaitu mendukung Palestina tanpa menafikan hak Israel untuk hidup aman. Artinya, jika Israel ingin aman, maka mereka juga harus memberikan keamanan dan kemerdekaan juga untuk Palestina—tidak bisa hanya menang sendiri. Semuanya harus menang.

Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa Indonesia berkomitmen pada penghentian perang dan kemerdekaan Palestina. Pernyataan ‘normalisasi dengan Israel’ tidak bisa dimaknai tanpa syarat penghentian perang dan kemerdekaan tersebut. Artinya, selama Israel masih menjajah Palestina, maka selama itu juga Indonesia akan terus melawan dan tentu saja tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Solusi dua negara—negara Israel dan negara Palestina—adalah solusi realistis di tengah berbagai kebuntuan berpuluh tahun. Tapi, semua sekali lagi harus dimulai dengan penghentian perang dan pengakuan Israel terhadap kemerdekaan dan kenegaraan Palestina.

Memang tidak ideal seutuhnya. Akan tetapi, inilah yang paling memungkinkan saat ini bagi perjuangan Palestina. Pada akhirnya, sejarah menunjukkan kepada kita hasilnya ke depan. Tetapi sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme, Indonesia memang memiliki kewajiban moral untuk terus menyuarakan keadilan. Setelah pidato tersebut, penting bagi semua pihak di Indonesia untuk kembali menyatukan gerakan bagi dukungan kepada Palestina sesuai dengan perkembangan situasi global tersebut. Untuk itu, sinergi antara pemerintah dan masyarakat patut diintensifkan pasca pidato tersebut.

Kemitraan kita dalam mendukung perdamaian dunia, termasuk penghentian perang dan perjuangan solusi dua negara tersebut patut bersinergi dengan para pihak global yang lintas batas. Hal ini tercermin dari pidato Prabowo yang mengatakan sebagai berikut:

“Saya yakin bahwa para pemimpin peradaban-peradaban besar dunia: peradaban Barat, peradaban Timur, peradaban Utara, peradaban Selatan, para pemimpin Amerika, Eropa, India, Tiongkok, dunia Islam, seluruh dunia—saya yakin bahwa mereka akan bangkit untuk menjalankan peran yang dituntut oleh sejarah. Kita semua berharap para pemimpin dunia akan menunjukkan kenegarawanan yang agung, kebijaksanaan yang mendalam, pengendalian diri, kerendahan hati, mengatasi kebencian, dan mengikis kecurigaan.”

Ini berarti bahwa koalisi dan kolaborasi global lintas peradaban haruslah dilakukan secara kontinu, inovatif, dan strategis. Sebab kerja-kerja perdamaian dunia membutuhkan sinergi masyarakat global dari seluruh penjuru mata angin di planet bumi ini.

Akhirnya, pidato Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB—setelah Indonesia absen 10 tahun di forum tersebut—bisa kita lihat sebagai upaya Indonesia untuk menghidupkan kembali harapan akan dunia yang lebih adil, lebih damai, lebih harmonis untuk semua manusia, yang dalam Islam disebut sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin, kerahmatan bagi seluruh alam semesta.

Continue Reading

Nasional

KAPOLRI MENDAHULUI ATAU “MELAWAN” PRESIDEN?

Published

on

Oleh: Prof Henri Subiakto *) Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.

Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).

Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.

Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.

Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri, genk Solo dan tuntutan publik.

Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.

Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).

Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.

Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.

Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.

Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.

Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.

Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.

Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.

Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan tidak tegas, lebih banyak omon omon.

Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029. Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.

Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.

OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki tujuan dan inisiator yang berbeda.

Continue Reading

Nasional

5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Published

on

JAKARTA, onlinekoranbarito.com – Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.

RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.

Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.

Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.

Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.

Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.

Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.

Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.

Oleh:
Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

Continue Reading

Nasional

Cak Munir Resmi Umumkan Kabinet Persatuan PWI

Published

on

JAKARTA, onlinekoranbarito.com – Sejarah baru dunia pers Indonesia tercatat pada Senin (15/9/2025). Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Akhmad Munir, didampingi Ketua Dewan Kehormatan Atal S. Depari, secara resmi mengumumkan susunan pengurus PWI Pusat periode 2025–2030 dalam rapat koordinasi di Hall Dewan Pers, Jakarta.

Munir, yang akrab disapa Cak Munir, menegaskan bahwa kepengurusan kali ini adalah “kabinet persatuan”. Komposisinya dirancang sebagai mesin solid yang akan mengawal marwah pers nasional di tengah derasnya gelombang disrupsi digital.

“Wartawan adalah garda terdepan demokrasi. Informasi yang mereka sajikan adalah makanan bergizi bagi masyarakat. Jika kita menyajikan informasi sehat, maka bangsa ini akan kuat dan cerdas. Sebaliknya, bila publik terus dicekoki hoaks, maka yang lahir adalah generasi rapuh,” tegas Cak Munir dengan lantang.

Susunan kepengurusan periode ini benar-benar menghadirkan tokoh-tokoh kelas kakap. Dari jajaran eksekutif, Munir yang kini menjabat Dirut LKBN ANTARA, akan didampingi Zulmansyah Sekedang sebagai Sekretaris Jenderal, serta Marthen Selamet Susanto sebagai Bendahara Umum.

Di barisan Dewan Penasehat, tampil nama-nama mentereng. Suryopratomo (Dubas RI untuk Singapura, eks Pemred Kompas & Metro TV) sebagai Ketua, didampingi Ilham Bintang sebagai Wakil Ketua, serta Sasongko Tedjo sebagai Sekretaris.
Tak kalah gemilang, jajaran anggota diisi figur-figur karismatik seperti Karni Ilyas, Tribuana Said, Dahlan Iskan, Retno Pinasti, Kemal Effendi Gani, Asro Kamal Rokan, hingga Firdaus (Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia/SMSI).

“Ini bukan hanya susunan pengurus, tetapi sebuah orkestra besar yang mempertemukan pengalaman panjang, integritas, dan semangat pembaruan,” ujar Atal S. Depari menambahkan.

Di sisi lain, Dewan Pakar turut menghadirkan kombinasi yang segar. Dipimpin Dhimam Abror dan Nurjaman Mochtar, kehadiran tokoh muda seperti Alfito Deannova (Pemred Detik.com) dan Aiman Witjaksono menjadi penanda regenerasi kepemimpinan pers tengah berjalan serius.

Tak hanya itu, deretan departemen, komisi, hingga direktorat dipimpin oleh wartawan-wartawan berpengalaman di bidangnya masing-masing—mulai dari pendidikan, hukum, olahraga, multimedia, hingga satgas anti-hoaks.

Dengan formasi yang begitu lengkap, PWI Pusat 2025–2030 digadang-gadang bakal menjadi jangkar stabilitas sekaligus motor inovasi pers nasional. Sinergi antara para sesepuh dan generasi muda diharapkan menciptakan ekosistem media yang sehat, kredibel, serta tangguh menghadapi disinformasi dan tekanan era digital.

“PWI bukan hanya rumah besar wartawan. Lebih dari itu, PWI adalah benteng terakhir dalam menjaga kebenaran dan mencerahkan bangsa,” tutup Cak Munir, disambut tepuk tangan hadirin. (ist/kb).

Continue Reading

Nasional

Akhmad Munir Terpilih Ketua Umum PWI Pusat, Tiga Formatur Disepakati

Published

on

By

Cikarang, onlinekoranbarito.com – Direktur Utama Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Akhmad Munir, resmi terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat periode 2025–2030.

Munir meraih 52 suara dalam pemilihan yang berlangsung pada Kongres PWI 2025 di Balai Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (BPPTIK) Komdigi, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu (30/8). Sementara itu, calon ketua umum lainnya, Hendry Ch. Bangun, memperoleh 35 suara.

Dalam kongres yang sama, Atal S. Depari terpilih sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat setelah unggul tipis dengan 44 suara. Rivalnya, Sihoni HT, memperoleh 42 suara.

Usai penghitungan suara, suasana kongres langsung riuh dengan sorak gembira para anggota PWI yang hadir. Akhmad Munir bersama Atal Depari kemudian dikalungkan selendang sutera khas Bugis sebagai simbol kemenangan.

Sebagai langkah awal, Munir memimpin rapat pleno ketiga Kongres Persatuan dan menetapkan tiga formatur untuk membentuk kepengurusan PWI Pusat periode 2025–2030. Mereka adalah Fathurrahman mewakili wilayah Sumatera, Lutfil Hakim mewakili Pulau Jawa, serta Sarjono mewakili wilayah Sulawesi. Mereka akan bekerja selama 30 hari untuk membentuk kepengurusan.

Kemenangan Munir sekaligus menandai babak baru kepemimpinan PWI, organisasi wartawan tertua di Indonesia, yang tengah menatap tantangan besar dalam menjaga marwah jurnalisme di era digital.

Sumber dari: RK1.

Continue Reading

Kalsel

Bupati Batola Raih Baznas Award 2025

Published

on

JAKARTA, onlinekoranbarito.com – Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Republik Indonesia kembali menggelar Penganugerahan Baznas Award 2025 untuk mengapresiasi kinerja Baznas Provinsi, Baznas Kabupaten/Kota, dan para pihak yang telah berkontribusi dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Acara ini berlangsung bersamaan dengan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) seluruh Indonesia dengan tema “Menguatkan BAZNAS dalam Mendukung Asta Cita”, Kamis (28/8/2025).

Dalam ajang tersebut, Bupati Barito Kuala, Dr. H. Bahrul Ilmi, S.H., dinobatkan sebagai penerima penghargaan untuk kategori Kepala Daerah Pendukung Gerakan Zakat Indonesia. Penghargaan ini menjadi bukti pengakuan atas peran aktif dan dedikasi Bupati Barito Kuala beserta jajaran dan Baznas Kabupaten Barito Kuala dalam membangun sistem zakat yang berkelanjutan dan berdampak nyata di tengah masyarakat.

Ketua Baznas RI, Noor Achmad, dalam sambutannya menegaskan bahwa penghargaan ini diberikan melalui proses evaluasi yang ketat dan menyeluruh. “Kami melihat komitmen pemerintah daerah tidak hanya dari kebijakan yang mereka buat, tetapi juga dari implementasi nyata di lapangan serta seberapa besar mereka mendorong partisipasi masyarakat dalam gerakan zakat,” ujarnya.

Bupati Barito Kuala mengucapkan rasa syukur atas penghargaan yang diterima. Ia menilai penghargaan tersebut tidak luput dari kerja keras Baznas Kabupaten Barito Kuala dalam menjalankan program serta dukungan dari Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. “Tentu kita dari Pemerintah akan selalu mendukung dan bekerja sama dalam menjalankan program kerja dari Baznas Kabupaten Barito Kuala sehingga hal tersebut bisa terlaksana dengan maksimal,” pungkasnya.

Acara penganugerahan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting dari pemerintah pusat, kepala daerah dari seluruh Indonesia, pengurus Baznas tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta para pegiat zakat dari berbagai lembaga amil zakat dan organisasi masyarakat sipil. (adv/kb).

Continue Reading

Populer