Nasional
Pj Bupati Barito Utara Hadiri Puncak Peringatan Harganas ke 31 di Semarang
SEMARANG, onlinekoranbarito.com – Pj Bupati Barito Utara bersama Pj Ketua TP PKK Barito Utara Marsiana Muhlis menghadiri puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke 31 tahun 2024 di Semarang Jawa Tengah, Sabtu (29/6/2024).
Dalam menghadiri kegiatan itu Pj Bupati Muhlis juga didampingi Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, KB dan P3A Barito Utara. Kegiatan Harganas dilaksanakan di Lapangan Pancasila Simpang Lima Kota Semarang Jawa Tengah.
Peringatan Hari Keluarga Nasional ke 31 tahun 2024 jatuh pada tanggal 29 Juni 2024. Berdasarkan informasi resmi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Harganas 2024 mengusung tema ‘Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas’.
Puncak peringatan Harganas ke-31 dihadiri oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, Kepala BKKBN RI, Gubernur/Pj Gubernur/Bupati, Pj Bupati dan Walikota, Pj Walikota serta Ketua TPPS se Indonesia.
Pj Bupati Barito Utara Drs Muhlis mengatakan Pemkab Barito Utara berkomitmen penuh untuk menindaklanjuti arahan Menko PMK RI.
“Kabupaten Barito Utara terus melaksanakan tindakan nyata dalam intervensi penurunan stunting, hal ini sudah terlihat dengan angka prevelansi stunting di kabupaten Barito Utara saat ini 15,6 persen,” kata Pj Bupati Muhlis.
Pj Bupati Muhlis juga berharap kedepannya dengan komitmen, sinergi dan kerja keras bersama pihak untuk terus menurunkan prevelansi angka stunting di wilayah Kabupaten Barito Utara sehingga Kabupaten Barito Utara bisa bebas dari kasus stunting atau zero stunting.
“Barito Utara akan terus meningkatkan nilai indeks pembangunan manusia juga sejalan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah setempat, Pemerintah Kabupaten Barito Utara sudah mengcover keikutsertaan BPJS Kesehatan seluruh masyarakat Barito Utara,” imbuhnya.
Sementara Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan Harganas ke 31 ini mempunyai makna penting bagi bangsa ini, karena kembali diingatkan peran vital keluarga dalam membangun bangsa dan tema “Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas” merupakan komitmen dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga Indonesia”.
“Salah satu tantangan utama dihadapi Indonesia adalah masalah stunting (tengkes), yang telah mengalami penurunan selama satu dekade sebesar 15,7 persen atau rata-rata 1,57 persen per tahun. Angka tersebut masih jauh dari target 14 persen di tahun 2024, sehingga perlu strategi dalam menurunkan stunting tersebut,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Selain itu jelasnya untuk meningkatkan derajat hidup, peran keluarga sebagai unit terkecil pembangunan keluarga sehat berkualitas dapat dimulai dari calon pengantin, ibu hamil, bayi dan balita, akses air minum dan sanitasi layak.
Menko PMK Muhadjir Effendy usai acara puncak Harganas mengatakan target stunting 14 persen pada tahun 2024 ini merupakan target ambisius, namun ini akan dilihat pada akhir tahun mendatang.
“Saat ini sedang dilakukan pengukuran dan intervensi stunting di seluruh Indonesia, pengukuran balita sudah mencapai 92,29 persen hingga diharapkan dapat tercapai 100 persen hingga akhir Juni ini. Hasil pengukuran terhadap balita ini, akan menjadi patokan dan titik tolak penanganan stunting tersebut,” ujar Muhadjir Effendy.(adv/kb).
Nasional
AJI dan SMSI: Menyulam Kolaborasi untuk Ekosistem Media yang Lebih Sehat
JAKARTA, onlinekoranbarito.com — Suasana hangat terasa di Sekretariat Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Jalan Veteran II No. 7C, Jakarta Pusat, ketika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan kunjungan pada Kamis (30/10/2025).
Rombongan AJI yang dipimpin Sekretaris Jenderal Bayu Whardhana, didampingi Edi Faisol (Ketua Ketenagakerjaan) dan Sunudyantoro (Ketua Bidang Pendidikan), disambut langsung oleh Ketua Umum SMSI, Firdaus, beserta jajaran pengurus pusat. Pertemuan berlangsung akrab, diwarnai diskusi penuh semangat mengenai tantangan dan arah masa depan jurnalisme digital di Indonesia.
Bagi kedua organisasi, kunjungan ini bukan sekadar ajang silaturahmi. Ada kesadaran yang sama bahwa ekosistem media nasional membutuhkan kolaborasi nyata untuk menjaga profesionalisme dan integritas di tengah derasnya arus informasi digital.
“Kami melihat SMSI memiliki peran strategis dalam mengonsolidasikan media siber di tanah air. Kolaborasi seperti ini penting agar industri pers kita tetap sehat, kredibel, dan berintegritas,” ujar Bayu Whardhana.
Bayu menilai SMSI tidak hanya menjadi wadah organisasi media, tetapi juga telah berkembang sebagai motor penggerak transformasi digital yang mampu menjaga keseimbangan antara idealisme jurnalistik dan dinamika industri media modern.
Menanggapi hal tersebut, Firdaus menyampaikan apresiasinya terhadap semangat sinergi yang ditunjukkan AJI. Ia menegaskan bahwa SMSI lahir dari semangat wartawan yang profesional dan berintegritas.
“SMSI dibidani oleh aktivis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang notabene adalah wartawan profesional. Dalam banyak hal, kami sering berkomunikasi dengan rekan-rekan AJI dan AMSI, terutama terkait kebijakan di Dewan Pers,” ungkap Firdaus.
Ia menambahkan, “Walaupun ada perbedaan, banyak juga persamaan yang dapat kita perjuangkan bersama.” ungkap Firdaus
Pertemuan tersebut menjadi momentum penting bagi dua organisasi besar di dunia pers ini. AJI dan SMSI menunjukkan komitmen yang sama untuk memperkuat ekosistem media nasional, menjaga kredibilitas jurnalisme, dan memastikan transformasi digital berjalan seiring dengan nilai-nilai etika dan profesionalisme. (***).
Nasional
Prof Henri Subiakto: UU ITE Harus Dikawal agar Tak Menjadi Alat Pembungkam Pers
JAKARTA, onlinekoranbarito.com– Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Prof Henri Subiakto menegaskan bahwa Undang-indang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital yang melahirkan bentuk-bentuk komunikasi baru di masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Prof. Henri dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan SMSI Pusat secara daring melalui platform Zoom Meeting, Selasa (28/10/2025).
Kegiatan ini digelar dalam rangka menyongsong peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2026.
Menurutnya, perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan beragam aktivitas berbasis internet yang menimbulkan perbuatan hukum baru sehingga membutuhkan dasar pengaturan.
“Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Prof. Henri.
Ia memaparkan, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini telah mencapai sekitar 191 juta orang, sementara pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) mencapai lebih dari 224 juta akun aktif. Dengan jumlah tersebut, UU ITE menjadi salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai kasus hukum di Indonesia.
Namun, Prof. Henri menyoroti bahwa penerapan UU ITE kerap menimbulkan persoalan, terutama ketika digunakan untuk menjerat karya jurnalistik maupun opini publik yang disampaikan melalui media.
“Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Tapi sayangnya, masih sering ada salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa di era digital saat ini, media baru seperti podcast dan media daring berkembang pesat karena kemudahan akses serta rendahnya biaya produksi.
“Podcast itu menarik karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor,” jelasnya.
Meski demikian, Prof. Henri mengingatkan bahwa media baru tetap harus memegang prinsip jurnalisme dan kode etik pers, termasuk dalam hal verifikasi fakta dan menjaga objektivitas pemberitaan.
“Podcast dan media daring memang berbeda format, tapi secara fungsi keduanya sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers,” tuturnya.
Ia juga menyoroti masih maraknya kasus kriminalisasi terhadap jurnalis yang dilaporkan menggunakan UU ITE, terutama ketika karya jurnalistik menyinggung isu sensitif seperti korupsi atau kritik terhadap pejabat publik.
“Sekarang banyak orang yang kerjanya lapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.
Menutup paparannya, Prof. Henri mendorong SMSI untuk berperan aktif dalam memperjuangkan revisi UU ITE agar penerapannya tidak mengekang kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat.
“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tapi tetap mengedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” tegasnya. (***)
Nasional
Diskusi Menyongsong HPN 2026, SMSI Siapkan Rekomendasi Kebijakan untuk Pemda dan Dewan Pers
JAKARTA, onlinekoranbarito.com – Menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2026, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) tidak hanya berencana menggelar serangkaian diskusi, tetapi telah menyiapkan peta jalan jelas untuk melahirkan rekomendasi kebijakan strategis.
Rencana tersebut diungkapkan langsung oleh Ketua Umum SMSI, Firdaus, dalam Pembukaan Dialog Nasional perdana yang digelar di Gedung Serbaguna SMSI, Jalan Veteran II, Nomor 7c, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).
Acara pembukaan ini dihadiri sejumlah tokoh kunci industri media, antara lain Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, Dewan Pembina SMSI Prof. Harris Arthur Hedar, Dewan Pakar SMSI Yuddy Chrisnandi, Prof. Henri Subiakto, serta Hersubeno Arief, serta para pengurus dan anggota SMSI dari berbagai daerah yang juga hadir melalui zoom meeting.
Kehadiran para tokoh ini menunjukkan pentingnya agenda strategis menuju HPN 2026.
Firdaus menjelaskan, agenda strategis ini akan diwujudkan melalui serial dialog selama empat bulan ke depan.
”Dialog ini adalah untuk menyongsong Hari Pers Nasional di 2026 mendatang. Rangkaian ini akan terdiri dari 4 sesi. Kita mulai dengan diskusi pada bulan Oktober ini, lalu berlanjut pada November, Desember, dan puncaknya pada Januari 2026,” paparnya.
Firdaus menegaskan bahwa target akhir dari seluruh proses ini adalah sebuah kontribusi nyata.
”Mudah-mudahan, hasil dari pada dialog atau diskusi dalam 4 sesi ini, nanti pada Februari HPN 2026, akan melahirkan rekomendasi kepada pemerintah daerah atau Dewan Pers,” ujar Firdaus.
Rekomendasi ini diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan aktual di industri media siber.
Salah satu tantangan krusial yang akan dibahas adalah fenomena maraknya “media baru”.
Firdaus mengangkat persoalan mendasar yang dihadapi platform digital kontemporer.
”Media baru ini cukup dikelola sendiri, paling hanya tiga orang,” katanya, menggambarkan model operasional yang berbeda dari media konvensional.
Kondisi ini, lanjutnya, memunculkan pertanyaan mendasar tentang posisi dan legitimasi mereka dalam dunia pers.
”Lalu nanti pertanyaannya, apakah media baru ini masuk ke ranah jurnalis atau seperti apa? Yang paling penting, apakah nanti media baru ini bisa diterima oleh masyarakat pers?” tutur Firdaus.
Melalui serial diskusi yang sistematis ini, SMSI bertekad untuk menjawab tantangan tersebut dan merumuskan rekomendasi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga visioner.
Fokusnya adalah menciptakan ekosistem media yang adil, berkelanjutan, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, sekaligus menjaga marwah jurnalisme Indonesia.
”Ini adalah ikhtiar kolektif kita untuk memastikan bahwa transformasi digital di dunia pers membawa kemaslahatan, bukan hanya disruption. Hasil rekomendasi ini nantinya akan menjadi panduan bersama,” pungkas Firdaus menutup paparannya.***
Nasional
SMSI, Gerakan Kolektif Menjaga Marwah Pers Digital
JAKARTA, onlinekoranbarito.com -Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) bukan sekadar wadah organisasi, tetapi gerakan kolektif untukmenjaga marwah pers nasional di ranah digital.
Demikian Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, S.H., M.H., Guru Besar Bidang Hukum Kebijakan Publik yang juga Ketua Dewan Pembina SMSI dalam sambutannya ketika membuka dialog nasional bertema “Media Baru: Peluang dan Tantangannya”.
Dialog nasional yang mengambil tempat di Kantor SMSI Pusat, Jalan Vereran, Jakarta, dan diperluas dengan aplikasi zoom berlangsung Selasa, 7 Oktober 2025.
“Kita ingin memastikan transformasi media berjalan dengan etika, akurasi, dan keberpihakan pada
kebenaran serta kepentingan publik,” kata Harris Arthur Hedar dalam pembukaan dialog.
Hadir sebagai pembicara selain Ketua Umum SMSI Firdaus, juga Ketua Dewan Pakar SMSI, Prof. Yuddy Chrisnandi, Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, dan pembicara lainnya seperti Dr. Abraham Samad, Prof. Henry Subiakto, Hersubeno Arif, dan Ilona Juwita,
Menurut Ketua Dewan Pembina Harris, SMSI harus terus berupaya:
⁃ Mendorong literasi digital bagi
masyarakat dan ekosistem media,
⁃ Memperjuangkan perlindungan hukum bagi jurnalis dan perusahaan media siber, serta.
⁃ Meningkatkan kompetensi teknologi dan bisnis media.
⁃ Menjaga sinergi dengan pemerintah, Dewan Pers, dan pemangku kepentingan lainnya.
“ Saya berharap dialog ini melahirkan pemikiran tajam dan rekomendasi konkret, baik untuk SMSI sendiri maupun bagi dunia media siber Indonesia,” tuturnya.
Tentu yang juga sangat penting bagaimana kita menghadapi derasnya konten user generated, algoritma platform global, serta tantangan etik dan hukum. Bagaimana media siber tetap menjadi watchdog demokrasi sekaligus adaptif terhadap perkembangan industri.
“Kita harus menjadikan SMSI rumah besar bagi media siber yang kredibel, berdaya, dan berpihak pada kepentingan bangsa. Akhir kata, saya mengapresiasi kerja keras
panitia, Dewan Pakar, dan seluruh pengurus SMSI atas penyelenggaraan forum penting ini.
Mari kita jadikan momentum ini sebagai pijakan memperkuat kualitas media siber Indonesia, agar
tetap tangguh, adaptif, namun tidak kehilangan jatidiri dan tanggung jawab sosialnya.
Terkait tema yang dipilih dalam dialog ini, bagi SMSI yang mempunyai ribuan perusahaan media siber, fenomena ini menghadirkan dua sisi.
Pertama peluang besar untuk memperluas jangkauan, mempercepat distribusi informasi,dan memperkuat demokratisasi pengetahuan.
Dan kedua, tantangan serius berupa arus disinformasi, hoaks, polarisasi opini, serangan siber, dan tekanan model bisnis media yang terus berubah.
Sebagai Dewan Pembina, saya memandang, Dialog Nasional ini menjadi momentum penting bagi SMSI untuk memperkuat kapasitas strategis media siber Indonesia, agar tetap independen, profesional, dan memiliki daya saing tinggi di era platform digital global. (*)
Nasional
Ichsanuddin Noorsy Sesalkan Pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara
JAKARTA, onlinekoranbarito.com – Pakar ekonomi politik dan analis kebijakan publik Dr. Ichsanuddin Noorsy menyesalkan pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang melontarkan pandangan berseberangan dengan kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto terkait lokasi pembangunan Bandara Internasional Bali Utara (BIBU).
“Ini bentuk pelecehan terhadap kebijakan presiden dan juga terhadap iklim dan kepastian hukum investasi serta bisa menimbulkan kebingungan publik,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, lanjutnya, hierarki kebijakan harus dijaga. Peraturan Presiden (Perpres) sebagai turunan langsung dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah kompas utama arah pembangunan. Setiap pejabat negara, baik di pusat maupun daerah wajib tunduk pada keputusan yang telah ditegaskan Presiden.
Namun belakangan publik dibuat bingung oleh sikap dan pernyataan dua pejabat, yakni Gubernur Bali pada 30 Juni 2025 dan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub pada 27 September 2025 yang justru melontarkan pandangan berseberangan dengan kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto terkait lokasi pembangunan BIBU.
Keduanya membuka wacana pemindahan lokasi proyek dari Kubutambahan, Buleleng ke Sumberklampok, wilayah yang berada di tengah Taman Nasional Bali Barat. Langkah ini bukan hanya menimbulkan kebingungan publik, tapi juga menebar ketidakpastian di dunia investasi.
Padahal, fakta hukum sudah gamblang. Lokasi BIBU di Kubutambahan telah dikukuhkan dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025, dan Perpres itu bersifat final dan mengikat.
Tidak ada lagi ruang tawar-menawar atau wacana pemindahan lokasi, sementara pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara sama saja dengan bentuk perlawanan terbuka terhadap keputusan presiden.
“Ini bukan sekadar beda pandangan, tapi sudah menyentuh ranah insubordinasi birokrasi yang bisa menghancurkan iklim investasi dan kepercayaan investor,” tegas Ichsanuddin.
Sebelumnya, menurut dia, Dirjen Perhubungan Udara justru pernah menolak lokasi Sumberklampok melalui surat resmi kepada Gubernur Bali tertanggal 23 Desember 2020.
Alasannya jelas, kawasan tersebut tidak sesuai dengan Perda Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029, mengancam Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan sebagian lahannya akan memakai zona konservasi seluas sekitar 64 hektar.
Kini, justru lokasi yang dulu dinilai tidak layak itu dihidupkan kembali, padahal berpotensi menabrak Undang-Undang Konservasi, memicu konflik lingkungan, dan menimbulkan tumpang tindih ruang udara dengan Bandara Blimbingsari di Banyuwangi yang jaraknya hanya dipisahkan Selat Bali.
Visi Presiden: Bali Utara, Poros Pertumbuhan Baru
Pada bagian lain, Ichsanuddin mengingatkan, proyek BIBU Kubutambahan adalah wujud nyata visi besar Presiden Prabowo, menjadikan Bali sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, termasuk di Sanur pada November 2024, Presiden Prabowo menegaskan ambisinya menjadikan Bali sebagai “The New Singapore” atau “The New Hong Kong.”
Langkah strategis itu disambut PT BIBU Panji Sakti, selaku pemrakarsa proyek, yang sudah mengamankan komitmen investasi senilai Rp50 triliun dan meluncurkan desain bandara modern di atas laut (offshore).
Proyek ini telah dikaji lintas kementerian serta telah mendapat lampu hijau dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Investasi (BKPM), dan Bappenas sebelum akhirnya dimasukkan ke RPJMN 2025–2029.
Ichsanuddin lebih lanjut mengemukakan, sikap pejabat daerah dan pusat yang tidak sejalan dengan Perpres membuat sejumlah tokoh adat di Bali geram. Paiketan Puri-Puri Se-Jebag Bali (P3SB) mendesak Presiden Prabowo segera memulai pembangunan BIBU.
“Kami sudah jenuh dengan wacana. Perpres Nomor 12 Tahun 2025 sudah jelas: lokasi bandara di pesisir Kubutambahan,” tegas Anak Agung Ngurah Ugrasena, Sekretaris P3SB sekaligus Penglingsir Puri Agung Singaraja sebagaimana dikutip Ichsanuddin.
Nada serupa datang dari Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN). Melalui surat resmi bertanggal 29 September 2025, mereka meminta Presiden segera meresmikan peletakan batu pertama pembangunan BIBU.
Ketua Umum FSKN Brigjen Pol (Purn) Dr. A.A. Mapparessa, M.M., M.Si., Karaeng Turikale VIII menyebut proyek ini strategis untuk memacu pemerataan ekonomi dan memperkuat identitas budaya Bali dalam bingkai kejayaan peradaban bangsa.
Menurut Ichsanuddin, perilaku pejabat yang menentang keputusan Presiden bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga penghancuran sistem pemerintahan, dan ia meminta Presiden Prabowo supaya mengambil langkah tegas untuk menertibkan seluruh elemen birokrasi agar tegak lurus pada Perpres 12/2025.
“Tidak boleh ada ego sektoral yang menabrak keputusan kepala negara. Kalau dibiarkan, ini bukan hanya melecehkan Presiden, tapi juga mempermalukan Republik di mata dunia investasi,” tegasnya.
Nasional
PWI Pusat Resmi Dilantik, Tanda Pers Indonesia Kembali Satu Haluan
SURAKARTA, onlinekoranbarito.com – Napas baru dunia pers Indonesia resmi dimulai. Sabtu (4/10/2025), di tempat bersejarah Monumen Pers Nasional, Solo, Jawa Tengah, pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat periode 2025–2030 dikukuhkan dalam suasana penuh haru dan semangat persatuan.
Momentum bersejarah itu turut dihadiri Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, Wamenkomdigi Nezar Patria, Wakil Wali Kota Solo Astrid Widayani, serta ratusan insan pers dan tamu undangan dari berbagai daerah.
Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir menegaskan, pemilihan Monumen Pers bukan tanpa alasan. Tempat yang menjadi saksi lahirnya PWI pada 9 Februari 1946 itu dianggap sebagai simbol persatuan dan perjuangan wartawan Indonesia.
“Monumen Pers memiliki spirit persatuan dan perjuangan dari para pendahulu kita. Setelah dua tahun kita mengalami stagnasi dan dualisme, kini saatnya kembali bersatu,” tegas Munir.
Ia mengakui, hampir dua tahun belakangan organisasi wartawan tertua di Indonesia itu sempat mengalami kebuntuan akibat perpecahan kepengurusan. Namun, pengukuhan kali ini disebutnya sebagai babak baru untuk mengembalikan marwah PWI sebagai rumah besar wartawan Indonesia.
Dalam pidatonya, Munir mengibaratkan informasi yang dihasilkan wartawan sebagai makanan bagi publik.
“Masyarakat kini dibanjiri informasi. Pertanyaannya, apakah yang kita sajikan itu makanan bergizi atau justru racun?” ujarnya menyentil.
Munir mengajak seluruh anggota PWI agar menjaga profesionalitas dan berpegang teguh pada kode etik jurnalistik demi menghadirkan informasi yang sehat dan mencerdaskan.
Ditempat yang sama, Ketua PWI Surakarta Anas Syahirul yang menjadi tuan rumah, berharap momentum pengukuhan ini menjadi titik akhir perpecahan di tubuh PWI.
“Tidak ada lagi kelompok Pak HBC, tidak ada lagi kelompok Pak Zul. Sekarang hanya ada satu, yaitu kelompok Pak Munir,” tandasnya disambut tepuk tangan hadirin.
Prosesi pengukuhan dimulai dengan pembacaan Surat Keputusan oleh Sekjen PWI Pusat Zulmansyah Sekedang, dilanjutkan penyerahan SK dan ucapan selamat dari Menkomdigi dan Wamenkomdigi.
Dalam sambutannya, Menkomdigi Meutya Hafid menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pers. Ia menilai PWI punya peran vital dalam menjaga ekosistem informasi yang sehat dan berimbang di era digital.
Pengukuhan pengurus PWI Pusat periode 2025–2030 di Monumen Pers Solo menjadi simbol kuat bahwa pers Indonesia siap melangkah ke depan dengan semangat baru: persatuan, profesionalitas, dan tanggung jawab moral kepada publik. (isn/kb).
Nasional
Praktek Pamer Hasil Korupsi Oleh APH, Untuk Apa?
Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Belakangan ini masyarakat sering dihadapkan pada gambar-gambar aparat penegak hukum yang memamerkan tumpukan uang kertas dalam jumlah fantastis, mulai dari miliaran hingga hampir mencapai triliunan rupiah.
Fenomena ini menarik untuk dicermati secara kritis, karena tidak hanya melibatkan aspek estetika visual, tetapi sejatinya juga menyimpan pesan sosial dan implikasi hukum yang cukup serius.
Tujuan utama aparat penegak hukum memamerkan uang tersebut biasanya adalah sebagai bukti keberhasilan mereka dalam memberantas tindak pidana korupsi, penggelapan, narkoba, atau kejahatan keuangan lainnya.
Dalam konteks ini, eksposur uang dalam jumlah besar dimaksudkan untuk menunjukkan efektivitas kerja aparat, sekaligus memberi sinyal bahwa hukum tidak pandang bulu dalam menangani kasus kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat.
Namun, praktik memamerkan uang dalam jumlah sangat besar sebenarnya berada di luar nalar. Secara praktis, tidak mungkin para koruptor atau pelaku kejahatan menyimpan dana secara tunai dalam jumlah sebesar itu.
Sudah menjadi kebiasaan di berbagai organisasi dan institusi menggunakan sistem “petty cash”, yaitu jumlah uang tunai terbatas yang disediakan untuk pengeluaran kecil sehari-hari, bukan menyimpan miliaran rupiah dalam bentuk tunai.
Dana hasil kejahatan finansial umumnya disimpan dalam bentuk aset tidak likuid, investasi, atau diputar melalui rekening bank agar lebih sulit dilacak. Oleh karena itu, uang tunai yang dipamerkan biasanya sudah dikumpulkan dari berbagai sumber dan kasus, bukan mencerminkan satu transaksi atau satu pelaku semata.
Misalnya, dalam beberapa kasus besar korupsi di Indonesia, seperti kasus korupsi di proyek e-KTP atau korupsi dana bansos, aparat berhasil menyita uang tunai sejumlah besar yang berasal dari gabungan pendapatan hasil operasi penegakan hukum selama beberapa waktu.
Meski jumlahnya sangat besar, uang tersebut bukan disimpan secara mencolok oleh para pelaku, melainkan hasil penelusuran dan penyitaan dari berbagai lokasi atau rekening. Hal ini menguatkan klaim bahwa pemaparan uang dalam jumlah fantastis lebih bersifat simbolik daripada cerminan aktual dari cara koruptor bekerja.
Dari sisi dampak sosial, praktik pamer uang kertas ini seolah menjadi tontonan media yang menghibur publik dan memberikan “kepuasan instan” bahwa hukum sedang bekerja.
Namun, pendekatan ini berisiko menimbulkan budaya sensasionalisme yang mengabaikan hak-hak tersangka, proses peradilan yang adil serta transparansi yang sebenarnya.
Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, eksibisi tersebut bisa menimbulkan skeptisisme terhadap integritas aparat hukum dan sistem peradilan jika dianggap sebagai pencitraan semata.
Dari perspektif hukum, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana mekanisme penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan barang bukti berupa uang tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau kebocoran.
Kelemahan tata kelola barang bukti dapat melemahkan bukti dalam persidangan dan memberi celah bagi oknum mafia hukum. Oleh karena itu aparat wajib menunjukkan akuntabilitas yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan aset hasil perkara.
Fenomena ini juga mencerminkan dilema institusional di mana aparat penegak hukum terjebak dalam kultur “politik pencitraan” yang lebih mengutamakan narasi keberhasilan dibandingkan proses hukum yang substantif.
Dalam negara hukum yang ideal, penegakan hukum haruslah berorientasi pada keadilan yang seimbang, menghormati hak asasi, dan mengedepankan transparansi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi impresi media.
Dengan demikian, fenomena aparat penegak hukum yang suka memamerkan uang kertas dalam jumlah sangat besar sebaiknya ditinjau ulang, tidak hanya dari sisi estetika atau kepuasan publik sesaat, tetapi juga dari implikasi sosial dan hukum yang lebih mendalam.
Perlu ada upaya reformasi komunikasi publik aparat agar fokus pada edukasi hukum, transparansi proses, dan akuntabilitas, bukan hanya mempertontonkan angka fantastis yang berpotensi menyesatkan.
*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.
Nasional
Praktek Pamer Hasil Korupsi Oleh APH, Untuk Apa?
Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Belakangan ini masyarakat sering dihadapkan pada gambar-gambar aparat penegak hukum yang memamerkan tumpukan uang kertas dalam jumlah fantastis, mulai dari miliaran hingga hampir mencapai triliunan rupiah.
Fenomena ini menarik untuk dicermati secara kritis, karena tidak hanya melibatkan aspek estetika visual, tetapi sejatinya juga menyimpan pesan sosial dan implikasi hukum yang cukup serius.
Tujuan utama aparat penegak hukum memamerkan uang tersebut biasanya adalah sebagai bukti keberhasilan mereka dalam memberantas tindak pidana korupsi, penggelapan, narkoba, atau kejahatan keuangan lainnya.
Dalam konteks ini, eksposur uang dalam jumlah besar dimaksudkan untuk menunjukkan efektivitas kerja aparat, sekaligus memberi sinyal bahwa hukum tidak pandang bulu dalam menangani kasus kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat.
Namun, praktik memamerkan uang dalam jumlah sangat besar sebenarnya berada di luar nalar. Secara praktis, tidak mungkin para koruptor atau pelaku kejahatan menyimpan dana secara tunai dalam jumlah sebesar itu.
Sudah menjadi kebiasaan di berbagai organisasi dan institusi menggunakan sistem “petty cash”, yaitu jumlah uang tunai terbatas yang disediakan untuk pengeluaran kecil sehari-hari, bukan menyimpan miliaran rupiah dalam bentuk tunai.
Dana hasil kejahatan finansial umumnya disimpan dalam bentuk aset tidak likuid, investasi, atau diputar melalui rekening bank agar lebih sulit dilacak. Oleh karena itu, uang tunai yang dipamerkan biasanya sudah dikumpulkan dari berbagai sumber dan kasus, bukan mencerminkan satu transaksi atau satu pelaku semata.
Misalnya, dalam beberapa kasus besar korupsi di Indonesia, seperti kasus korupsi di proyek e-KTP atau korupsi dana bansos, aparat berhasil menyita uang tunai sejumlah besar yang berasal dari gabungan pendapatan hasil operasi penegakan hukum selama beberapa waktu.
Meski jumlahnya sangat besar, uang tersebut bukan disimpan secara mencolok oleh para pelaku, melainkan hasil penelusuran dan penyitaan dari berbagai lokasi atau rekening. Hal ini menguatkan klaim bahwa pemaparan uang dalam jumlah fantastis lebih bersifat simbolik daripada cerminan aktual dari cara koruptor bekerja.
Dari sisi dampak sosial, praktik pamer uang kertas ini seolah menjadi tontonan media yang menghibur publik dan memberikan “kepuasan instan” bahwa hukum sedang bekerja.
Namun, pendekatan ini berisiko menimbulkan budaya sensasionalisme yang mengabaikan hak-hak tersangka, proses peradilan yang adil serta transparansi yang sebenarnya.
Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, eksibisi tersebut bisa menimbulkan skeptisisme terhadap integritas aparat hukum dan sistem peradilan jika dianggap sebagai pencitraan semata.
Dari perspektif hukum, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana mekanisme penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan barang bukti berupa uang tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau kebocoran.
Kelemahan tata kelola barang bukti dapat melemahkan bukti dalam persidangan dan memberi celah bagi oknum mafia hukum. Oleh karena itu aparat wajib menunjukkan akuntabilitas yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan aset hasil perkara.
Fenomena ini juga mencerminkan dilema institusional di mana aparat penegak hukum terjebak dalam kultur “politik pencitraan” yang lebih mengutamakan narasi keberhasilan dibandingkan proses hukum yang substantif.
Dalam negara hukum yang ideal, penegakan hukum haruslah berorientasi pada keadilan yang seimbang, menghormati hak asasi, dan mengedepankan transparansi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi impresi media.
Dengan demikian, fenomena aparat penegak hukum yang suka memamerkan uang kertas dalam jumlah sangat besar sebaiknya ditinjau ulang, tidak hanya dari sisi estetika atau kepuasan publik sesaat, tetapi juga dari implikasi sosial dan hukum yang lebih mendalam.
Perlu ada upaya reformasi komunikasi publik aparat agar fokus pada edukasi hukum, transparansi proses, dan akuntabilitas, bukan hanya mempertontonkan angka fantastis yang berpotensi menyesatkan.
*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.
Nasional
Diplomasi Bela Palestina Presiden Prabowo Subianto
Oleh: Dr. Yanuardi Syukur
Direktur Kawasan Asia-Afrika Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
Pidato Presiden Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 (23/9/2025) menjadi salah satu pernyataan diplomasi strategis Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dari podium PBB, Prabowo bukan hanya menyuarakan kepedulian terhadap tragedi Gaza, tetapi juga menawarkan paket komitmen yang jarang dilakukan negara berkembang, yakni mengirim hingga 20.000 pasukan penjaga perdamaian, membantu pangan melalui ekspor beras, serta menegaskan solusi dua negara Palestina–Israel sebagai jalan tunggal menuju perdamaian.
Pidato ini menarik karena memadukan dua hal, yaitu pengalaman historis Indonesia sebagai bangsa terjajah dan peran Indonesia saat ini sebagai negara yang mampu menawarkan solusi global. Prabowo menyinggung kolonialisme, kemiskinan, dan solidaritas internasional, lalu menghubungkannya dengan penderitaan Palestina. Dengan demikian, ia menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai negara yang berempati, tetapi juga sebagai aktor yang siap mengambil bagian dalam “misi penyelamatan” kemanusiaan global.
Komitmen mengirim 20.000 pasukan perdamaian tersebut tentu membutuhkan konsensus Dewan Keamanan PBB, sumber daya finansial besar, dan kesiapan logistik. Belum tentu negara-negara besar akan menerima peran dominan Indonesia di medan yang penuh kepentingan geopolitik tersebut. Demikian pula janji ekspor pangan untuk Palestina yang selain patut diapresiasi, realisasinya tetap tergantung stabilitas dalam negeri dan kemampuan distribusi lintas zona perang—mengingat blokade Israel pada jalur masuk ke Gaza.
Di tengah pidato inspiratif dan kuat dari Presiden Prabowo tersebut, kita patut melihat realitas di lapangan yang jauh lebih kompleks. Saat ini, kita lihat, Israel tetap memegang kendali militer yang kuat, sementara Palestina masih berada dalam “penjara blokade”, “politik pelaparan”, dan terpecah secara politik. Di sisi lain, dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, serta belum bersatunya negara-negara Arab untuk mengambil langkah konkrit dalam menghentikan genosida di Gaza sebagai suatu kebutuhan strategis dan mendesak, membuat solusi dua negara kerap berhenti di tingkat retorika. Dalam konteks ini, Presiden Prabowo mencoba membalik narasi, yakni perdamaian hanya mungkin bila ada keberanian mengambil langkah konkret, termasuk mengakui kedua negara dan menjamin keamanan keduanya.
Per 23/9/2025, Israel masih terus menyerang ke seluruh Gaza dan membunuh sedikitnya 36 warga Palestina di tengah-tengah pertemuan para pemimpin dunia menghadiri pertemuan tahunan Majelis Umum PBB, di mana perang Israel di Gaza menjadi pusat perhatian. Israel juga kembali mengeluarkan ancaman terhadap Gaza Sumud Flotilla, dengan mengatakan akan “mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah masuknya ke zona tempur dan menghentikan setiap pelanggaran terhadap blokade laut yang sah.”
Selain itu, merujuk Aljazeera (23/9/2025), Israel juga menutup Jembatan Raja Hussein (atau yang dikenal sebagai Jembatan Allenby) tanpa batas waktu, memblokir satu-satunya jalur penghubung antara Tepi Barat yang diduduki dan Yordania. Israel tampaknya tidak menunjukkan i’tikad serius untuk menghentikan teror dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi.
Terlepas dari fakta lapangan dimana terorisme Israel masih terjadi, satu hal penting dari pidato Prabowo tersebut adalah menyadarkan dunia dengan menggunakan narasi universal “keluarga manusia”. Ia menyebut semua agama dan bangsa sebagai bagian dari satu keluarga besar. Kata Prabowo, “We differ in race, religion, and nationality, yet we gather together today as one human family,” dan karena kita ‘satu keluarga manusia’, maka kita harus menolak doktrin sejarawan Athena abad ke-4 Sebelum Masehi, Thucydides bahwa “the strong do what they can, the weak suffer what they must.”
Narasi “keluarga manusia” penting, karena mengajak dunia keluar dari logika realpolitik yang didominasi kekuatan militer semata, menuju pada solidaritas moral sebagai basis diplomasi. Dalam Islam, relasi tersebut dikenal sebagai relasi “ukhuwah insaniyah”, atau dalam perspektif dokumen Imam Ahmed Al-Tayyeb dan Paus Fransiskus sebagai “persaudaraan kemanusiaan” (human fraternity)—yang saat ini telah dirayakan setiap tahunnya secara internasional.
Presiden Prabowo membuka mata dunia bahwa saat ini secara realistis kita hidup dalam situasi kebencian dan kekerasan. Beliau menyampaikan sebagai berikut:
“We live in a time when hatred and violence can seem to be the loudest voices. But beneath this loud noise lies a quieter truth: That every person longs to be safe, to be respected, to be loved, and to leave a better world to their children. Our children are watching. They are learning leadership not from textbooks, but from our choices.”
(Kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan terdengar paling lantang. Namun di balik kebisingan itu ada kebenaran yang lebih tenang: setiap orang mendambakan rasa aman, penghormatan, kasih sayang, dan warisan dunia yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Anak-anak kita sedang menyaksikan. Mereka belajar kepemimpinan bukan dari buku teks, melainkan dari pilihan kita).
Beliau kemudian membahas ‘situasi bencana’ (catastrophic situation)—untuk menggambarkan kehancuran luar biasa—di Gaza yang tak kunung selesai. Secara diplomatik, kalimat ‘catastrophic situation’ lebih soft sebagai tokoh yang hendak ‘berdiri di atas dan untuk semua golongan’. Prabowo mengatakan sebagai berikut:
“Today, still, a catastrophic situation in Gaza is unfolding before our eyes. At this very moment, the innocent are crying for help [and] are crying to be saved. Who will save them? Who will save the innocent. Who will save the old and women? Millions are facing danger at this very moment, as we sit here. They are facing trauma. They are facing irreparable damage to their bodies. They are dying of starvation. Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?”
(Hari ini, situasi bencana di Gaza masih berlangsung di depan mata. Saat ini juga, orang-orang tak berdosa menangis minta tolong. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang tua dan perempuan? Jutaan jiwa sedang menghadapi bahaya, trauma, kerusakan tubuh yang tak bisa dipulihkan, kelaparan, bahkan kematian. Dapatkah kita tetap diam? Akankah tidak ada jawaban untuk jeritan mereka? Akankah kita mengajarkan bahwa keluarga manusia tidak sanggup menjawab tantangan ini?)
Kepedulian Prabowo pada Palestina juga disampaikan pada penutup pidatonya sebagai yang ia nyatakan:
“Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali dukungan penuh Indonesia terhadap solusi dua negara untuk Palestina. Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, namun kita juga harus mengakui, menghormati, dan menjamin keselamatan serta keamanan Israel. Hanya dengan itu, kita bisa memiliki perdamaian sejati—perdamaian yang bebas dari kebencian dan kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara.”
Beliau juga menggugah kita semua sebagai ‘satu keluarga manusia’ untuk berkomitmen dalam rekonsiliasi damai dan harmoni:
“Two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace and harmony. Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions, we must live as one human family. Indonesia is committed to being part of making this vision a reality. Is this a dream? Maybe, but this is the beautiful dream that we must work together towards.”
(Dua keturunan Ibrahim harus hidup dalam rekonsiliasi, damai, dan harmoni. Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha—semua agama—harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen menjadi bagian dari upaya mewujudkan visi ini. Apakah ini mimpi? Mungkin, tetapi ini adalah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama).
Dalam pidato tersebut, Indonesia menegaskan diri sebagai negara yang berani menawarkan jalan keluar, bukan hanya mengutuk. Paling tidak, Presiden Prabowo telah menempatkan Indonesia pada posisi moral yang jelas, yaitu mendukung Palestina tanpa menafikan hak Israel untuk hidup aman. Artinya, jika Israel ingin aman, maka mereka juga harus memberikan keamanan dan kemerdekaan juga untuk Palestina—tidak bisa hanya menang sendiri. Semuanya harus menang.
Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa Indonesia berkomitmen pada penghentian perang dan kemerdekaan Palestina. Pernyataan ‘normalisasi dengan Israel’ tidak bisa dimaknai tanpa syarat penghentian perang dan kemerdekaan tersebut. Artinya, selama Israel masih menjajah Palestina, maka selama itu juga Indonesia akan terus melawan dan tentu saja tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Solusi dua negara—negara Israel dan negara Palestina—adalah solusi realistis di tengah berbagai kebuntuan berpuluh tahun. Tapi, semua sekali lagi harus dimulai dengan penghentian perang dan pengakuan Israel terhadap kemerdekaan dan kenegaraan Palestina.
Memang tidak ideal seutuhnya. Akan tetapi, inilah yang paling memungkinkan saat ini bagi perjuangan Palestina. Pada akhirnya, sejarah menunjukkan kepada kita hasilnya ke depan. Tetapi sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme, Indonesia memang memiliki kewajiban moral untuk terus menyuarakan keadilan. Setelah pidato tersebut, penting bagi semua pihak di Indonesia untuk kembali menyatukan gerakan bagi dukungan kepada Palestina sesuai dengan perkembangan situasi global tersebut. Untuk itu, sinergi antara pemerintah dan masyarakat patut diintensifkan pasca pidato tersebut.
Kemitraan kita dalam mendukung perdamaian dunia, termasuk penghentian perang dan perjuangan solusi dua negara tersebut patut bersinergi dengan para pihak global yang lintas batas. Hal ini tercermin dari pidato Prabowo yang mengatakan sebagai berikut:
“Saya yakin bahwa para pemimpin peradaban-peradaban besar dunia: peradaban Barat, peradaban Timur, peradaban Utara, peradaban Selatan, para pemimpin Amerika, Eropa, India, Tiongkok, dunia Islam, seluruh dunia—saya yakin bahwa mereka akan bangkit untuk menjalankan peran yang dituntut oleh sejarah. Kita semua berharap para pemimpin dunia akan menunjukkan kenegarawanan yang agung, kebijaksanaan yang mendalam, pengendalian diri, kerendahan hati, mengatasi kebencian, dan mengikis kecurigaan.”
Ini berarti bahwa koalisi dan kolaborasi global lintas peradaban haruslah dilakukan secara kontinu, inovatif, dan strategis. Sebab kerja-kerja perdamaian dunia membutuhkan sinergi masyarakat global dari seluruh penjuru mata angin di planet bumi ini.
Akhirnya, pidato Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB—setelah Indonesia absen 10 tahun di forum tersebut—bisa kita lihat sebagai upaya Indonesia untuk menghidupkan kembali harapan akan dunia yang lebih adil, lebih damai, lebih harmonis untuk semua manusia, yang dalam Islam disebut sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin, kerahmatan bagi seluruh alam semesta.
-
Nasional3 tahun agoSambut Tahun Baru 2023, IOH Region Kalisumapa Siapkan Command Center
-
Nasional2 bulan agoAkhmad Munir Terpilih Ketua Umum PWI Pusat, Tiga Formatur Disepakati
-
Kalteng1 tahun agoPj Bupati Murung Raya Buka Forum Komunikasi Implementasi Pencapaian UHC
-
Kalteng3 bulan agoWakil Bupati Murung Raya Hadiri Rakor Percepatan Penurunan Stunting di Aula Kantor Gubernur
-
Kalsel3 bulan agoBupati H Fani Ingin Wujudkan Tabalong Religius
-
Kalsel3 bulan agoBupati Inginkan Kolaborasi Sukseskan Tabalong Smart
-
Kalsel3 bulan agoTabalong Wujudkan Program Satu Desa Satu Pendakwah
-
DPRD Kabupaten Pulang Pisau2 bulan agoKoperasi Merah Putih Dianggap Strategis Bangun Ekonomi Lokal
-
DPRD Kabupaten Pulang Pisau2 bulan agoFraksi DPRD Pulpis Sepakat Bahas Revisi Perda OPD
-
Kalteng2 bulan agoBupati Heriyus Kunker ke PT Adaro Minerals, Dorong Sinergi Perusahaan dan Pemda untuk Kesejahteraan Masyarakat
